Revisi KUHAP Dinilai Berpotensi Ciptakan Ketimpangan Hukum, PMII Situbondo Suarakan Kekhawatiran

“Revisi ini tidak bisa dianggap enteng. Masyarakat perlu ikut mengkaji dan mengawal isinya agar tidak menimbulkan masalah baru dalam praktik hukum di lapangan,” ujar Riyanto

Jun 14, 2025 - 20:41
Jun 14, 2025 - 20:48
 0  63
Revisi KUHAP Dinilai Berpotensi Ciptakan Ketimpangan Hukum, PMII Situbondo Suarakan Kekhawatiran
Mandataris Ketua PMII Cabang Situbondo, Riyanto

SITUBONDO– Polemik revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus mengemuka di ruang publik.

Sejumlah elemen masyarakat, khususnya kalangan mahasiswa, mulai menyuarakan kekhawatiran atas arah kebijakan yang dianggap berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana nasional.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Situbondo menjadi salah satu organisasi yang secara terbuka menyampaikan kritik terhadap isi draf revisi tersebut.

Mereka menilai, sejumlah pasal dalam Rancangan KUHAP dapat mengganggu prinsip keadilan dan independensi dalam sistem penegakan hukum.

Mandataris Ketua PMII Cabang Situbondo, Riyanto, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rencana pemberlakuan KUHAP hasil revisi yang dijadwalkan mulai berlaku bersamaan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 1 Januari 2026.

“Revisi ini tidak bisa dianggap enteng. Masyarakat perlu ikut mengkaji dan mengawal isinya agar tidak menimbulkan masalah baru dalam praktik hukum di lapangan,” ujar Riyanto, Jumat (13/6/2025).

Ia menyoroti khususnya penguatan asas dominus litis dalam rancangan revisi tersebut, yang memberikan peran dominan kepada jaksa dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Menurut Riyanto, jika kewenangan lembaga kejaksaan terlalu diperluas tanpa diimbangi pengawasan dan akuntabilitas yang ketat, maka sistem hukum nasional berisiko menjadi sentralistik.

"Situasi ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, di mana lembaga penegak hukum sangat terpusat dan minim kontrol. Kami tidak ingin hal itu terulang," ujarnya.

Ia menambahkan, dominasi jaksa dalam proses hukum juga bisa menimbulkan ketidakseimbangan antara kepolisian sebagai penyidik, pengadilan sebagai pengadil, dan kejaksaan sebagai penuntut.

“Yang harus ditekankan adalah keadilan dan keseimbangan kewenangan antarlembaga. Jangan sampai satu pihak menjadi terlalu dominan dan justru menggerus nilai-nilai demokrasi dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, PMII Situbondo juga menekankan bahwa revisi KUHAP tidak boleh hanya berfokus pada efisiensi atau kecepatan proses hukum semata, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek keadilan substantif.

“Negara kita sedang menghadapi berbagai tantangan hukum. Jangan sampai revisi ini memperburuk keadaan dan menambah beban ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum,” katanya.

Riyanto juga menyoroti minimnya pelibatan publik dalam proses penyusunan draf revisi KUHAP yang saat ini sedang digodok pemerintah bersama DPR RI.

Ia menilai, proses legislasi yang terburu-buru dan tertutup berpotensi mengesampingkan suara-suara kritis dari masyarakat sipil, terutama yang berasal dari daerah.

“Padahal, masyarakat di daerah pun akan terdampak langsung oleh revisi ini. Jangan hanya mendengar suara dari pusat. Kita semua punya hak untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan hukum,” ujarnya.

Ia pun mengajak mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, dan aktivis di berbagai daerah untuk tidak tinggal diam melihat dinamika revisi KUHAP yang dinilai sarat kepentingan.

Menurutnya, keberpihakan terhadap keadilan dan penegakan hukum yang bersih harus menjadi prioritas bersama semua elemen bangsa.

“Kita semua berkepentingan agar hukum ditegakkan secara adil dan transparan. Jangan sampai revisi ini malah membuka celah baru bagi penyalahgunaan wewenang,” tegas Riyanto.

Ia menyebutkan, PMII Situbondo dalam waktu dekat akan menggelar diskusi publik dan forum kajian bersama akademisi serta praktisi hukum di wilayah Tapal Kuda.

Diskusi tersebut diharapkan dapat menjadi ruang alternatif bagi masyarakat untuk memahami isi revisi KUHAP secara lebih mendalam dan kritis.

Selain itu, Riyanto menyampaikan bahwa organisasinya tengah menyusun rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur III.

Rekomendasi itu mencakup poin-poin krusial seperti perlindungan terhadap hak tersangka, penguatan kontrol publik atas kejaksaan, dan perlunya transparansi dalam proses hukum.

“Pemerintah tidak boleh abai terhadap suara rakyat. Kami akan terus mengawal isu ini agar revisi KUHAP benar-benar berpihak pada keadilan dan kepastian hukum,” ucapnya.

Di tengah sorotan ini, sejumlah akademisi dan organisasi masyarakat sipil lainnya juga mulai menyampaikan keprihatinan. Mereka menilai bahwa pemberlakuan revisi KUHAP tanpa debat publik yang cukup akan mencederai prinsip partisipasi demokratis.

Beberapa pihak menyuarakan bahwa perlu ada moratorium sementara terhadap pengesahan revisi, hingga prosesnya benar-benar melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat.

Sebagian lainnya menilai, perubahan dalam sistem hukum memang perlu, namun harus disesuaikan dengan semangat reformasi hukum yang transparan, adil, dan berpihak pada hak asasi manusia.

Di sisi lain, kelompok yang mendukung revisi KUHAP menyebut bahwa perubahan ini diperlukan untuk memperjelas alur penanganan perkara dan menghindari tumpang tindih kewenangan antara jaksa dan penyidik.

Mereka berpendapat bahwa penguatan peran jaksa dapat mendorong efektivitas proses hukum dan mencegah pelanggaran prosedur oleh aparat penyidik.

Namun demikian, kritik terhadap minimnya sistem check and balance dalam draf revisi tetap menjadi sorotan utama.

Riyanto pun menegaskan bahwa meskipun revisi adalah hal yang lumrah dalam sistem hukum, proses dan substansi revisi tetap harus berpihak pada prinsip keadilan dan tidak boleh membungkam kontrol masyarakat.

“Supremasi hukum harus dijaga oleh semua pihak. Jangan sampai kepentingan segelintir orang merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita,” tandasnya.

Hingga saat ini, Rancangan KUHAP masih dalam tahap pembahasan di tingkat legislatif. Pemerintah menyatakan terbuka terhadap masukan publik, namun belum ada kejelasan mengenai mekanisme pelibatan masyarakat secara luas.

PMII Situbondo berharap, gelombang suara dari berbagai daerah bisa menjadi penyeimbang terhadap narasi yang dibangun di tingkat pusat.

“Daerah bukan sekadar penonton. Kita punya hak dan kewajiban yang sama untuk menjaga agar hukum tetap menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan,” pungkas Riyanto.

Penulis: Khairul

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow