Idul Adha sebagai Momentum Pendidikan Moderasi Beragama di Era Modern
Perayaan Idul Adha mengandung pesan spiritual yang dalam. Kisah Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan putranya, Nabi Ismail AS, menjadi simbol pengorbanan dan ketaatan mutlak kepada Tuhan. Namun, yang tidak kalah penting adalah esensi dari perintah tersebut: sebuah bentuk kepasrahan tanpa kekerasan dan keharmonisan dalam menjalankan perintah ilahi

JEMBER— Dalam era modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, perbedaan pemahaman agama sering kali menjadi sumber konflik horizontal. Hal ini menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia yang majemuk secara agama, budaya, dan etnis. Dalam konteks ini, perayaan Idul Adha dapat dimaknai sebagai momentum strategis untuk menginternalisasi nilai-nilai moderasi beragama.
Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia, secara fundamental mengajarkan perdamaian dan toleransi. Kata "Islam" sendiri berasal dari akar kata salama yang berarti damai atau selamat. Prinsip dasar ini menegaskan bahwa Islam hadir bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (QS. Al-Anbiya: 107).
Perayaan Idul Adha mengandung pesan spiritual yang dalam. Kisah Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan putranya, Nabi Ismail AS, menjadi simbol pengorbanan dan ketaatan mutlak kepada Tuhan. Namun, yang tidak kalah penting adalah esensi dari perintah tersebut: sebuah bentuk kepasrahan tanpa kekerasan dan keharmonisan dalam menjalankan perintah ilahi.
Moderasi dalam beragama adalah kunci utama dalam merawat keutuhan bangsa. Menurut Kementerian Agama RI, moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengedepankan keseimbangan, toleransi, dan menghormati perbedaan. Dalam laporan Litbang Kemenag tahun 2022, disebutkan bahwa sekitar 80% masyarakat Indonesia masih rentan terhadap narasi-narasi intoleransi dan ekstremisme.
Oleh sebab itu, Idul Adha dapat dijadikan titik tolak reflektif bagi umat Islam, tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga wahana pembelajaran sosial untuk menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap pentingnya toleransi dan hidup berdampingan secara damai.
Nilai-nilai moderasi sejatinya tidak hanya terkandung dalam ajaran Islam. Agama Kristen, misalnya, menekankan pentingnya kasih sayang, pengampunan, dan perdamaian sebagaimana yang tercermin dalam ajaran Yesus Kristus. Dalam Matius 5:9 disebutkan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
Demikian pula Hindu mengajarkan konsep Ahimsa (anti-kekerasan) dan Dharma (kebenaran) yang mendorong umatnya untuk membangun kehidupan yang damai dan harmonis. Ajaran Buddha melalui prinsip belas kasih (karuna) dan kebijaksanaan (prajna) juga menuntun umatnya menuju kedamaian batin dan sosial.
Idul Adha juga mengajarkan makna ta’awun (kerja sama) dan ukhuwwah (persaudaraan). Dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada yang membutuhkan, kita diajak untuk peka terhadap penderitaan orang lain tanpa melihat latar belakang agama atau suku.
Dalam praktik sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan moderasi beragama yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah saat Perjanjian Hudaibiyah. Meskipun perjanjian itu tampak merugikan kaum Muslimin, Rasulullah menerimanya demi menjaga perdamaian jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa kompromi dalam bingkai nilai adalah bagian dari strategi luhur Islam.
Dalam konteks kebangsaan, Indonesia memiliki fondasi kuat berupa Pancasila yang mengakomodasi keberagaman keyakinan. Moderasi beragama adalah manifestasi dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang secara implisit mengajarkan bahwa keyakinan harus dibarengi dengan penghormatan terhadap keyakinan orang lain.
Pendidikan adalah medium penting dalam menginternalisasi nilai-nilai moderasi. Kementerian Agama melalui program “Kampanye Moderasi Beragama” telah mengintegrasikan konsep ini ke dalam kurikulum madrasah, pesantren, dan sekolah umum. Program ini bertujuan membentengi generasi muda dari paham radikal dan intoleran.
Namun demikian, implementasi moderasi tidak cukup hanya bersifat formal atau seremonial. Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata di lingkungan keluarga, tempat ibadah, institusi pendidikan, hingga ruang publik. Ini sesuai dengan pandangan C. Geertz (1960) dalam Religion of Java, yang menekankan bahwa ekspresi keberagamaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial-budaya.
Perayaan Idul Adha kali ini harus menjadi ajang refleksi untuk memperbaharui komitmen dalam merawat kerukunan umat. Di tengah tantangan globalisasi yang kadang membawa ideologi ekstrem, masyarakat Indonesia harus tetap menjunjung tinggi nilai tengah (wasathiyah) dalam beragama.
Dengan memahami esensi kurban, kita belajar bahwa beragama bukan hanya soal ritual, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan ruang hidup yang damai dan seimbang antar sesama manusia. Kurban bukan sekadar daging yang dibagi, tetapi simbol keikhlasan dan keadilan sosial.
Tak dapat dimungkiri, tantangan di era digital turut mempersulit narasi moderasi. Media sosial kerap menjadi ladang subur bagi ujaran kebencian atas nama agama. Maka dari itu, perlu literasi digital berbasis nilai moderasi untuk membentengi masyarakat dari pengaruh negatif dunia maya.
Penting pula bagi tokoh agama, pendidik, dan pemerintah untuk saling berkolaborasi dalam menyebarkan pesan damai. Menurut Prof. Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, “Moderasi adalah jalan tengah yang menyelamatkan agama dari dua kutub ekstrem: radikalisme dan liberalisme.”
Momentum Idul Adha harus dimanfaatkan untuk memperkuat jalinan kebangsaan. Tidak hanya melalui doa dan ibadah, tetapi juga melalui aksi-aksi sosial lintas iman. Kepedulian terhadap sesama adalah fondasi utama membangun Indonesia yang rukun dan damai.
Mari kita jadikan Idul Adha sebagai sarana menghidupkan kembali semangat persaudaraan sejati, menjauhi ujaran kebencian, dan menanamkan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari. Sebab agama, pada dasarnya, adalah jalan menuju kemanusiaan yang luhur.
Akhirnya, marilah kita menatap masa depan Indonesia dengan harapan besar: sebuah bangsa yang berlandaskan keimanan, dijaga oleh nilai kebajikan, dan dirajut oleh benang toleransi yang kokoh. Semoga Idul Adha membawa berkah dan memperkuat ikatan persaudaraan seluruh anak bangsa.
What's Your Reaction?






