Merumuskan Kembali Identitas Kemerdekaan Blambangan
Perjalanan panjang sejarah Banyuwangi memberikan makna tegas terhadap eksistensi kemerdekaan dirinya dalam bingkai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan.

KABAR RAKYAT, BANYUWANGI - Perjalanan panjang sejarah Banyuwangi memberikan makna tegas terhadap eksistensi kemerdekaan dirinya dalam bingkai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan.
Banyuwangi yang kemudian banyak orang menyebut bumi Blambangan pernah menghadapi intrik politik yang melibatkan hubungan emosional dan relasi kekuasaan. Bahkan intrik yang terjadi kemudian menimbulkan peristiwa sejarah politik identitas domestik, Banyuwangi.
Alkisah, ada seorang perempuan cantik yang bernama Sri Tanjung yang difitnah oleh sang raja. Karena finah tersebut, akhirnya Sri Tanjung dibunuh suaminya, Patih Sidopekso. Menurut cerita, sebelum dibunuh suaminya, Sri Tanjung berpesan, jika dirinya mati minta jasadnya dibuang ke sungai keruh. Setelah mayat Sri Tanjjung dibuang ke sungai tersebut mendadak air sungai itu berbau harum (wangi). Sehingga banyak yang menilai, jkisah legenda itu menjadi asal usul nama Banyuwangi.
Dalam hermeneutik politik, intrik yang terjadi kala itu, bukan sekedar konflik relasi domestik, hubungan suami istri. Tapi, ada juga kaitan relasi kuasa mono- loyalitas, hubungan patron atasan (upper class) dan bawahan (lower class).
Era Kolonial
Ketika itu Banyuwangi masih menjadi bagian dari Kerajaan Blambangan. Kemudian ada peristiwa penyerahan sepihak Java's Oosthoek, termasuk Blambangan kepada Voleh Pakubuwono II (1743). Menghadapi situasi politik aneksasi, kemudian Blambangan melakukan perlawanan untuk keluar dari cengkraman kolonialisme Belanda.
Pada masa itu perlawanan dipimpin oleh beberapa tokoh, termasuk Wong Agung Wilis. Ia merupakan Penguasa Blambangan yang memanfaatkan posisinya untuk menghimpun kekuatan dan menyerang VOC. Ia juga dibantu oleh Mas Rempeg alias Pangeran Jagapati, yang masih keturunan Raja Blambangan, Prabu Susuhunan Tawangalun.
Setelah Wong Agung Wilis tertangkap (1768) kemudian Pangeran Jagapati, pemimpin pasukan Blambangan yang memimpin perlawanan.
Perang Puputan Bayu
Perang Puputan Bayu merupakan perang besar-besaran di tanah Banyuwangi, yang mengorbankan 60 ribu orang. Perang ini terjadi pada 18 Desember 1771. Perang tersebut membawa dampak besar bagi Blambangan dan Belanda. Secara demografis, penduduk Blambangan menyusut drastis, dari 65 ribu menjadi hanya 5 ribu orang. Sementara pihak Belanda juga mengalami kerugian besar, dengan banyak pejabat dan perwira militernya yang luka dan tewas.
Rakyat Blambangan Kini.
Hingga kini perjuangan masyarakat Blambangan belum selesai. Mereka masih berusaha mengais sisa- pewarisan pengorbanan Sri Tanjung, yang tidak hanya secara etis mengajarkan keteguhan menjaga moralitas tapi juga menjaga kewangian Banyuwangi.
Tapi rupanya, kewangian dalam konteks kesejahteraan publik Banyuwangi masih menyisakan dilema. Harapan pendidikan gratis yang berkualitas belum terpenuhi maksimal. Kesenjangan ekonomi antar sosial urban dan juga desa- kota masih banyak timpang. Sektor riil pertanian dan perikanan masih membutuhkan proses sistemik industri hilir yang memadai sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang besar dan mendistribusikan kesejahteraan ekonomi secara luas
Perihal pelayanan kesehatan juga masih membutuhkan skema yang komprehensif sehingga mampu menekan kematian usia anak dan usia produktif dan mampu menjangkau seluruh lapisan sosial yang ada.
Epilog
Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan saat ini, Banyuwangi membutuhkan rumusan ulang untuk memaknai spirit kemerdekaan dengan seluruh tata nilai pewarisan sejarah Blambangan yang kemudian mampu melahirkan entitas Banyuwangi yang lebih mondial, seperti air mengalir yang menyemburkan keharuman dalam bentuk keadilan sosial ekomomi bagi masyarakatnya.
Penulis : M.HABLI HASAN
Wakil Ketua Bidang Pemuda dan Olaraga PC.GP.Ansor Banyuwangi.***
What's Your Reaction?






