Bayang-Bayang Benturan Horizontal di Lereng Ijen Bondowoso

Bayang-bayang konflik horizontal di Desa Kaligedang, Sempol, Bondowoso, setelah 159.800 pohon kopi PTPN I Regional 5 dirusak pihak tak dikenal. Ribuan buruh kehilangan penghasilan, sementara sebagian warga memandang lahan HGU sebagai hak leluhur yang harus kembali.

Nov 26, 2025 - 00:40
Nov 26, 2025 - 00:44
 0
Bayang-Bayang Benturan Horizontal di Lereng Ijen Bondowoso
Foto Ilustrasi: Warga berkumpul di tengah hamparan kebun kopi yang rusak di lereng Ijen, Kecamatan Sempol, Bondowoso. Ratusan pohon kopi tampak tumbang, sementara dua kelompok masyarakat saling berhadapan dalam suasana tegang. Kerusakan kebun dan hilangnya penghidupan buruh memicu kekhawatiran akan potensi konflik horizontal di kawasan tersebut.

KABAR RAKYAT,BONDOWOSO-Pada suatu sore yang dingin di lereng Gunung Ijen, aroma pucuk kopi yang seharusnya memenuhi udara kini digantikan bau batang patah dan tanah yang tercabik.

Di tengah kabut tipis, lahan kopi yang selama puluhan tahun menjadi sumber penghidupan ribuan buruh mendadak berubah menjadi hamparan sepi. Ratusan ribu pohon roboh, dan di balik kerusakan itulah kecemasan baru tumbuh: ancaman konflik antarwarga.

Fenomena itu seolah menjadi babak baru dari kisah panjang tensi agraria di Desa Kaligedang, Kecamatan Sempol, Bondowoso.

Sebuah kawasan yang selama dua abad terakhir hidup berdampingan dengan perkebunan kopi—dari masa kolonial hingga pengelolaan modern oleh PTPN I Regional 5.

Namun kini, di antara batang kopi yang tercabut, percikan kecurigaan mulai menyala. Buruh kebun yang kehilangan pendapatan harian merasa masa depan mereka diretas paksa.

Sementara sebagian warga lain percaya bahwa area HGU itu adalah tanah yang seharusnya kembali ke mereka.

Dua keyakinan yang bertentangan itu bergerak seperti dua arus bawah tanah yang siap bertabrakan.

Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jember, Dr. Iffan Gallant El Muhammady, menjadi salah satu akademisi yang paling lantang memperingatkan bahaya itu.

Ia melihat potensi konflik horizontal bukan lagi kemungkinan jauh, melainkan ancaman nyata yang mulai tampak gejalanya.

“Yang mengkhawatirkan adalah perubahan pola. Isu kebijakan tiba-tiba bergeser menjadi ketegangan antarwarga. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.

Menurut Iffan, pelabelan sepihak kepada warga sebagai “perusuh” menciptakan garis pembatas psikologis yang semakin memisahkan dua kelompok besar di Sempol: buruh kebun yang bergantung pada PTPN, dan kelompok warga Kaligedang yang memandang lahan perkebunan sebagai hak leluhur yang harus kembali mereka kuasai.

Dua narrasi yang bertolak belakang itu, katanya, adalah formula klasik pecahnya konflik horizontal di banyak daerah Indonesia.

Di kebun kopi yang kini hancur, suara kecemasan itu semakin jelas. Para buruh yang kehilangan pendapatan harian tidak hanya menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga ketakutan lain: jangan sampai kemarahan mereka dibaca sebagai provokasi terhadap warga desa.

Corporate Secretary PTPN I Regional 5, R.I. Setiyobudi, mengakui dampak sosial dari kerusakan 159.800 pohon kopi seluas 80 hektare itu amat berat.

“Tanaman kopi bukan sekadar komoditas. Bagi para pekerja, itu adalah harapan jangka panjang,” ucapnya.

Harapan itu runtuh begitu saja. Fasilitas kebun dirusak, kantor afdeling porak-poranda, jalan menuju kebun ditutup.

Aktivitas produksi berhenti total. Para buruh kehilangan pemasukan harian dalam semalam.

Dalam kondisi seperti ini, ujar Iffan, ketidakpastian adalah bahan bakar paling cepat menyalakan amarah sosial.

Sementara setiap faksi merasa punya legitimasi moral untuk marah.

Lereng Ijen tidak hanya menyimpan komoditas kopi, melainkan juga memori ratusan tahun. Sejak 1850-an, masyarakat lokal bekerja di perkebunan kopi arabika yang dibuka perusahaan Belanda di atas tanah bersuhu dingin itu.

Identitas ekonomi warga Sempol dan Kaligedang tumbuh di bawah bayang-bayang industri kopi. Karena itu, ketika pohon-pohon kopi itu dihancurkan, kerusakannya tidak sekadar pada batang dan daun. Yang retak adalah struktur sosial yang selama ini rapuh namun bertahan.

Iffan menyebut pemerintah daerah dan aparat harus mengambil posisi yang benar-benar netral.

“Negara tidak boleh tampak berpihak. Isu ini menyangkut penghidupan ribuan buruh sekaligus keyakinan sejarah warga,” katanya.

Dalam banyak konflik agraria, ketidaknetralan aparat justru menjadi pemantik terbesar bentrokan antarwarga. Iffan mengingatkan bahwa penyelesaiannya bukan pada pendekatan keamanan semata, tetapi pada rekonstruksi kepercayaan sosial yang kini tergerus.

Penegakan hukum pun, lanjutnya, harus dilakukan secara sensitif. “Jangan sampai proses hukum berubah menjadi kriminalisasi. Yang harus ditanyakan adalah kebijakan apa yang gagal hingga ini terjadi,” ujarnya.

Di rumah-rumah sederhana buruh kebun, obrolan malam kini diwarnai kecemasan. Ada yang bingung bagaimana membayar sekolah anak. Ada yang mulai berhutang karena pendapatan harian hilang. Ada pula yang takut diadu dengan warga lain karena dianggap memihak perkebunan.

Di sisi lain, ada warga yang khawatir tanah mereka benar-benar akan hilang jika tidak bersuara keras.

Dua ketakutan itu berjalan berdampingan—saling mengintip, saling mencurigai. Sempol hari ini menjadi ruang di mana ekonomi, identitas, dan memori sejarah bertumpuk dalam satu ruang sempit.

Sebuah campuran yang, bila tidak dibenahi secara hati-hati, dapat meletus menjadi konflik horizontal yang jauh lebih menakutkan daripada kerusakan fisik kebun kopi.

Di tengah segala ketegangan itu, suara Dr. Iffan Gallant berdiri sebagai peringatan keras: hentikan eskalasi, netralkan aparat, dan dudukkan semua pihak dalam posisi yang setara.

Jika tidak, lereng Ijen yang selama ini dikenal dunia sebagai pesona “blue fire” bisa sewaktu-waktu berubah menjadi “red fire”—api konflik sosial yang menyala dari kelalaian tata kelola dan diamnya negara.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow