Harga Tembakau Anjlok Akibat Hujan Deras, Petani di Bondowoso Terancam Rugi
Tingginya kadar air di tanaman membuat kadar nitrogen meningkat, sehingga tembakau cenderung menghasilkan aroma pahit.

BONDOWOSO– Hujan deras disertai angin kencang yang mengguyur wilayah Bondowoso dan sekitarnya beberapa hari terakhir membawa dampak serius bagi para petani tembakau.
Ketua APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) Bondowoso, Yasid, menyebut kondisi cuaca ekstrem tersebut telah mengganggu pertumbuhan hingga kualitas tembakau di tingkat petani.
Menurutnya, derasnya hujan membuat sebagian lahan tembakau tergenang air, sementara sebagian tanaman roboh, baik miring maupun bertindihan satu sama lain. Kondisi ini sangat memengaruhi proses fotosintesis tanaman.
“Kalau sudah roboh tidak teratur, otomatis fotosintesis tidak berjalan normal. Efeknya bisa dilihat tiga hari ke depan, daun bisa busuk,” jelas Yasid saat dikonfirmasi, Kamis (21/8/2025).
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa hujan ekstrem juga memengaruhi aroma tembakau. Tingginya kadar air di tanaman membuat kadar nitrogen meningkat, sehingga tembakau cenderung menghasilkan aroma pahit.
Padahal, aroma merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan kualitas dan harga jual tembakau selain warna dan tekstur daun.
“Sekarang jangankan aroma, rasanya saja sudah pahit karena kadar air tinggi,” pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris APTI Jawa Timur.
Dari sisi harga, kondisi ini menimbulkan penurunan yang signifikan dibandingkan tahun lalu. Tahun 2024, harga daun bawah tembakau di tingkat petani masih berada di kisaran Rp.50 ribu hingga Rp.55 ribu per kilogram, sementara daun medium hingga top grade berkisar Rp.65 ribu hingga Rp.75 ribu. Namun tahun ini, harga anjlok. Daun bawah hanya dihargai Rp38 ribu hingga Rp.40 ribu, sementara daun medium hingga top grade hanya Rp.50 ribu hingga Rp.55 ribu.
“Kalau dihitung dengan harga sekarang, rata-rata hanya Rp.40 ribu sampai Rp.45 ribu per kilogram. Itu artinya petani hanya bisa mencapai titik impas (BEP), belum ada keuntungan,” terang Yasid.
Selain harga, produktivitas juga diperkirakan mengalami penurunan. Untuk lahan sawah dengan varietas Maesan 1, produktivitas normal bisa mencapai 1,2 hingga 1,5 ton per hektare, bahkan lebih. Namun, tahun ini diperkirakan hanya sekitar 1 ton hingga 1,2 ton per hektare. Sementara pada lahan tegal atau pegunungan, produktivitas yang biasanya berkisar 8 kuintal hingga 1 ton, kini hanya diperkirakan 7 hingga 8 kuintal saja.
“Di awal musim tanam saja kita sudah dihadapkan pada kondisi yang tidak bersahabat. Unsur hara tanah sudah rendah, pH juga rendah, dan sekarang ditambah lagi hujan ekstrem. Unsur hara yang tersisa banyak tercuci air hujan,” paparnya.
Ia menambahkan, kualitas tembakau memang sangat bergantung pada kondisi lahan yang kering. Ketika tanah terus tergenang air, aroma khas tembakau tidak bisa muncul. Bahkan ada laporan di Bondowoso bahwa beberapa lahan sempat tergenang akibat derasnya hujan semalam.
Hal serupa juga dialami petani di Situbondo, terutama di wilayah Pantura yang kerap dilanda genangan karena saluran air tidak mampu menampung limpahan hujan.
Dengan situasi yang ada, Yasid berharap para pemangku kepentingan tidak tinggal diam.
“Ini perlu stakeholder duduk bersama, turun langsung ke petani maupun ke gudang. Jangan hanya diam melihat kondisi petani yang sedang kesulitan,” tegasnya.
Menurutnya, jika kondisi cuaca ekstrem ini terus berlanjut, bukan hanya harga yang anjlok, tetapi juga kualitas tembakau akan semakin merosot. Daun yang roboh dan saling tindih akan lebih cepat membusuk, kadar nitrogen naik, daun semakin tipis, dan pada akhirnya petani tidak akan mampu menutup biaya produksi.
“Semoga hujan segera reda. Kalau tidak, kualitas akan makin turun, petani makin rugi, dan masa depan tembakau di Bondowoso bisa semakin terancam,” pungkasnya.
What's Your Reaction?






