Sukardi, Peternak Bebek dari Binakal Bondowoso Bangkit dari Keterbatasan
Biaya operasional harian untuk pakan ternak mencapai sekitar Rp4.000. Dengan estimasi penghasilan kotor harian yang mencapai Rp98.000, Sukardi masih bisa menyisihkan keuntungan bersih dari hasil usahanya.

BONDOWOSO – Di balik geliat peternakan bebek yang mulai menggeliat di Kecamatan Binakal, terdapat sosok inspiratif bernama Sukardi, warga Desa Binakal yang telah menekuni usaha ternak bebek petelur sejak dua tahun lalu.
Awalnya, ia hanyalah seorang penggembala biasa yang mengandalkan pekerjaan di sawah, namun kondisi kesehatan membuatnya beralih profesi. Kini, ia menjadi salah satu pelaku usaha mandiri di bidang peternakan yang layak diperhitungkan.
"Dulu saya angon di sawah-sawah, tapi karena faktor kesehatan, saya beralih ke beternak bebek. Awalnya hanya dari 50 ekor bebek," ungkap Sukardi saat ditemui di kandangnya yang sederhana, Jum'at (4/7/2025).
Meski bermodal kecil, hasilnya cukup menjanjikan. Setiap pagi, Sukardi bisa memanen sekitar 44 hingga 46 butir telur dari total 50 ekor bebek yang ia pelihara. Jika tidak ada pesanan langsung, ia mengolah telur-telur itu menjadi telur asin, yang ia jual seharga Rp2.500 per butir.
"Sekarang kalau tak ada yang pesan, ya saya olah sendiri jadi telur asin. Alhamdulillah tetap laku, masyarakat suka karena rasanya gurih dan tahan lama," tambahnya.
Biaya operasional harian untuk pakan ternak mencapai sekitar Rp4.000. Dengan estimasi penghasilan kotor harian yang mencapai Rp98.000, Sukardi masih bisa menyisihkan keuntungan bersih dari hasil usahanya. Ia mengaku, meski belum besar, usaha ini sudah cukup membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pakan bebek yang digunakan terdiri dari dadak (dedak), grantil, dan fur perangsang telur, yang diberikan rutin pagi dan sore. Ia juga selektif dalam pemeliharaan, hanya memelihara dua ekor jantan untuk kebutuhan kawin, sedangkan bebek jantan lainnya yang sudah tidak produktif ia jual ke pasar atau konsumen langsung.
Selain menjual telur dan telur asin, Sukardi juga menjual bebek afkir—yakni bebek yang sudah melewati masa produktif. Terutama bebek jantan yang tidak dibutuhkan, karena jumlah pejantan dalam kandang cukup dua ekor saja.
“Yang jantan dan sudah tidak produktif biasanya langsung saya jual, lumayan buat tambahan pemasukan,” kata Sukardi.
Meski usahanya sudah mulai berkembang, Sukardi menyimpan harapan besar ke depan. Ia berencana menambah jumlah bebek ternaknya agar pendapatannya juga meningkat. Namun, keterbatasan modal menjadi tantangan yang belum bisa ia atasi sendiri.
“Saya ingin tambah lagi, tapi masih kesulitan modal. Harapan saya ada bantuan dari pemerintah, baik dari desa maupun kabupaten. Bantuan modal atau kandang sangat berarti bagi peternak kecil seperti saya,” ujarnya.
Kisah Sukardi mencerminkan semangat masyarakat desa yang ingin mandiri dan produktif meski dengan sumber daya terbatas. Jika difasilitasi dan dibina dengan serius, usaha-usaha kecil seperti milik Sukardi dapat menjadi pendorong ekonomi lokal yang kuat, sekaligus menjadi contoh sukses pengentasan kemiskinan berbasis potensi desa.
Dengan tren kebutuhan telur bebek yang masih tinggi dan peluang pasar yang belum sepenuhnya tergarap, potensi pengembangan peternakan bebek di wilayah Binakal dan sekitarnya patut mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah.
What's Your Reaction?






