Uji Ketangkasan Lewat Busur Panah
panahan kian diminati anak-anak usia dini. Namun, di balik prestasi mereka, ada peran penting dari orangtua yang tidak hanya mendampingi, tetapi turut memahami seluk-beluk teknik dan sistem kompetisi, Minggu (3/8/2025).

KABARRAKYAT, SURABAYA – Dunia olahraga panahan kian diminati anak-anak usia dini. Namun, di balik prestasi mereka, ada peran penting dari orangtua yang tidak hanya mendampingi, tetapi turut memahami seluk-beluk teknik dan sistem kompetisi, Minggu (3/8/2025).
Refliawan Sumargono, orangtua dua pegiat panahan dari Surabaya tergabung dalam klub Trah Pemanah Kota Surabaya dibawah naungam Fespati (Federasi Seni Panahan Tradisional Indonesia), berbagi pengalamannya mendampingi anak-anaknya bertanding hingga level nasional.
“Biasanya panahan dibagi dalam dua sistem: berdasarkan kelas atau usia,” kata Refli saat ditemui usai latihan anaknya, lalu dari Barra Dzaki Reflian yang kecil (7 tahun) dan Akhtar Dzaki El Shaarawy (12 tahun) awal pekan lalu.
Ia menjelaskan, kategori kelas sering dipakai untuk usia sekolah. Misalnya, anak-anak di kelas Taman Kanak-Kanak (TK) biasanya berlomba di jarak 5 meter.
Sementara untuk kategori U9 (usia di bawah 9 tahun), jarak bisa bertambah menjadi 7 meter. Anak-anak di kelas 1 hingga 3 SD umumnya juga bertanding di jarak 7 meter.
“Kalau sudah masuk U12, biasanya jaraknya 10 meter. Tapi ada juga perlombaan yang pakai sistem kelas—kelas 4, 5, 6—tetap bisa di 10 meter. Nah, anak saya sekarang kelas 6, usianya hampir 13 tahun, jadi sudah enggak bisa ikut U12, harus naik ke U18 dengan jarak sampai 20 meter,” ujarnya.
Namun, Refli menegaskan bahwa dalam kompetisi panahan, ketangkasan dan mental jauh lebih penting daripada sekadar usia atau kelas.
“Saat bertanding di perlombaan open turnamen Jombang, misalnya. Juara I (satu) kategori U9 itu anak TK. Dia mengalahkan anak kelas 1 dan 2 sekolah dasar (SD). Jadi bukan soal umur, tapi soal ketangkasan,” katanya.
Hal serupa terjadi di ajang Festival Olahraga Rekreasi Nasional (Fornas) di Lombok. Seorang peserta kelas 6 SD, Hananta, anak dari pelatih panahan Kurnia harus bertanding di kategori U18 melawan pelajar SMA.
“Waktu itu dia kalah tipis di babak shoot-off lawan anak SMP. Tapi yang penting bukan kalah-menangnya, melainkan uji keterampilan dan mental bertanding,” ucap Refli.
Sebagai orangtua, Refli memilih mendampingi anaknya secara aktif. Di rumah, ia menyediakan alat latihan berupa target busa, jangkrak, dan busur panahan.
“Saya juga ikut belajar teknik memanah. Supaya bisa mengoreksi kalau anak saya salah posisi atau gaya,” tuturnya.
Ia menilai bahwa kompetisi bukan semata soal medali, tapi juga melatih karakter anak. “Kalau sering ikut lomba, anak-anak bisa mengukur mentalnya. Mereka tahu siapa saingannya, tahu bagaimana menyikapi tekanan,” tambahnya.
Anak pertama Refli kini berusia 12 tahun, sementara adiknya 7 tahun dan baru masuk kelas 1 SD. Keduanya aktif mengikuti kejuaraan panahan.
“Kalau ditanya soal medali, ya belum rezeki di Fornas kemarin. Tapi saya melihat perkembangan teknik dan ketangguhan mereka sudah luar biasa,” kata pria berusia 37 tahun itu.
Menutup percakapan, Refli menegaskan bahwa olahraga panahan bukan sekadar rutinitas, tetapi juga proses belajar bersama antara anak dan orangtua.
“Saya belajar bersama anak saya. Memahami tekniknya, menghargai prosesnya. Karena memanah itu bukan hanya tentang busur dan anak panah, tapi tentang melatih ketenangan, fokus, dan karakter,” pungkasnya.
Sementara pelatih dari klub Trah pemanah dibawah naungan Fespati, Kurnia Cahyanto mengaku meskipun beberapa turnamen tidak masuk dalam kalender resmi Fespati atau Dinas Pemuda dan Olahraga, pelatih dan orang tua tetap mengikutsertakan anak-anak asuhnya demi jam terbang.
Open Turnamen: Resmi dan Tidak Resmi
Dalam dunia panahan, ada dua jenis turnamen terbuka: resmi dan tidak resmi. Turnamen resmi biasanya direkomendasikan oleh organisasi seperti Fespati (Federasi Seni Panahan Tradisional Indonesia) baik daerah maupun pusat, atau didukung Dispora wilayah setempat.
“Misalnya Festival Majapahit Memanah (FMM) itu resmi, dan ada sertifikat yang diakui Dinas Pendidikan,” jelas Kurnia.
Sebaliknya, turnamen yang tidak mendapat rekomendasi tidak bisa diklaim dalam jalur prestasi. “Kalau sertifikatnya tidak resmi, ya tidak dihitung untuk poin di Dinas Pendidikan. Tapi kalau resmi, bisa jadi bekal jalur prestasi.
Pewarta: Ajay Galih
What's Your Reaction?






