DPRD Surabaya Soroti Polemik Pecah KK, Usulkan Cabut SE Sekda, Berisiko Timbulkan Data Ganda
DPRD Surabaya soroti polemik pecah KK yang dinilai berisiko menimbulkan data ganda dan diskriminatif
SURABAYA– Polemik kebijakan pemecahan Kartu Keluarga (KK) kembali mencuat di Kota Pahlawan. DPRD Surabaya menilai aturan tersebut rawan menimbulkan data ganda, bahkan bisa dimanfaatkan pihak luar untuk membuat identitas baru secara ilegal.
Komisi A DPRD Kota Surabaya pun menjadikan persoalan ini sebagai agenda utama dalam rapat evaluasi layanan kependudukan pekan ini. Rapat dengar pendapat digelar bersama sejumlah OPD terkait, antara lain Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil), Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Bagian Hukum dan Kerja Sama, serta perwakilan Forum RW Simolawang.
Ketua Komisi A, Yona Bagus Widyatmoko, mengatakan forum tersebut diharapkan bisa menjadi ruang klarifikasi. “Regulasi pecah KK selama ini menimbulkan pertanyaan di lapangan. Rapat ini untuk evaluasi bersama,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).
Salah satu yang disorot DPRD adalah Surat Edaran (SE) Sekretaris Daerah Kota Surabaya Nomor 400.12/10518/436.7.11/2024 tertanggal 31 Mei 2024. Dalam rapat evaluasi, Komisi A merekomendasikan pencabutan SE tersebut.
“Kalau aturan ini dipaksakan, warga bisa mencari jalan sendiri. Ini rawan gesekan di bawah. Demi kondusivitas Surabaya, kami rekomendasikan SE itu dicabut,” tegas Yona yang akrab disapa Yebe.
Selain pencabutan SE, DPRD mendorong Pemkot segera menyiapkan aturan baru dalam bentuk Raperda atau Perwali yang lebih detail. “Warga butuh kepastian hukum, bukan kebijakan yang berubah-ubah,” tambah anggota Komisi A, Tubagus Lukman Amin.
Kepala Dispendukcapil Surabaya, Eddy Christijanto, menegaskan kebijakan pecah KK bertujuan memperkuat validitas data. Menurutnya, istilah auto blokir bukan berarti pemblokiran permanen.
“Itu hanya status administratif bagi warga yang masih tercatat di KK lama cetak kertas merah. Sepanjang ada dokumen, bahkan fotokopi, NIK tetap bisa diterbitkan,” jelas Eddy.
Meski begitu, Eddy mengingatkan adanya risiko pihak luar memanfaatkan celah membuat data baru secara ilegal. “Pernah ada kasus orang luar, termasuk dari luar negeri, yang mencoba masuk ke sistem. Itu yang harus diantisipasi,” katanya.
Ia juga menegaskan, mekanisme pecah KK hanya berlaku untuk keluarga inti. “Kalau anak belum menikah, tetap ikut orang tua. Pecah KK baru bisa dilakukan setelah menikah,” ujarnya.
Di lapangan, warga justru merasakan dampak negatif aturan ini. Ketua RW 05 Kelurahan Simolawang, Sutrisno, menilai pembatasan maksimal tiga KK per alamat membuat warganya kesulitan mengurus dokumen.
“Banyak yang terdampak, tapi sulit dibuktikan karena langsung tertolak sistem. Akhirnya kesannya tidak ada masalah, padahal faktanya ada,” kata Sutrisno.
Ia bahkan mencontohkan kasus di keluarganya. “Anak saya tidak bisa pecah KK karena rumah sudah ada tiga KK. Padahal itu hak setiap kepala keluarga. Rasanya diskriminatif,” ujarnya.
Dengan jumlah warga mencapai 4.700 jiwa, Sutrisno menilai masalah serupa juga menimpa banyak RW lain di Surabaya. “Hanya saja mereka tidak berani bersuara karena tidak ada bukti tertulis. Masalah ini nyata, hanya tersembunyi di sistem,” tambahnya.
Menurutnya, dampak paling serius menimpa warga miskin. Data kependudukan yang bermasalah bisa membuat mereka terlewat dari daftar penerima bantuan sosial. “Kalau data tidak bisa diperbarui, warga rawan kehilangan haknya,” tegasnya.
Meski DPRD sudah merekomendasikan pencabutan SE Sekda, warga masih menunggu langkah konkret Pemkot. “Tujuan kami jelas: SE dicabut. Kalau itu terjadi, layanan kependudukan bisa kembali normal,” pungkas Sutrisno
Penulis: Ajay Galih
What's Your Reaction?