Pesantren, Pahlawan, dan Semangat yang Tak Pernah Padam di Bondowoso

Tasyakuran gelar pahlawan Penghargaan negara kepada Syekhona Kholil Bangkalan, KH Abdurrahman Wahid, dan aktivis perempuan buruh Marsinah

Nov 15, 2025 - 07:38
 0
Pesantren, Pahlawan, dan Semangat yang Tak Pernah Padam di Bondowoso
Sejumlah kiai dan tokoh Nahdlatul Ulama menghadiri acara tasyakuran atas penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 di sebuah aula di Situbondo. H. Ahmad Dhafir Ketua DPC PKB Bondowosi berbusana hijau tampak memberikan sambutan di depan spanduk bergambar para tokoh penerima gelar pahlawan, termasuk Syaikhona Muhammad Kholil, KH Abdurrahman Wahid, dan Marsinah.

KABAR RAKYAT,BONDOWOSO— Malam itu, aula kantor DPC PKB Bondowoso tampak lebih hangat dari biasanya, Jumat (14/11/2025).

Puluhan tamu duduk rapi, sementara suara lantunan shalawat lembut mengisi ruangan.

Di tengah kesederhanaan acara tasyakuran itu, suasana terasa sarat makna: penghormatan bagi tiga tokoh asal Jawa Timur yang baru saja ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Di panggung kecil, Ketua DPC PKB Bondowoso, H. Ahmad Dhafir, berdiri dengan wajah sedikit letih, tetapi sorot matanya tetap penuh energi.

Meski kesehatannya menurun setelah empat hari menjalani agenda padat di Surabaya, ia memilih hadir.

“Ini momentum penting bagi kita semua,” katanya membuka sambutan.

Penghargaan negara kepada Syekhona Kholil Bangkalan, KH Abdurrahman Wahid, dan aktivis perempuan buruh Marsinah, menurut Dhafir, bukan sekadar seremonial. Ia menyebutnya sebagai pengakuan atas peran Jawa Timur dalam melahirkan tokoh-tokoh yang mengubah arah sejarah bangsa. Nama pertama yang disebut Dhafir adalah Syekhona Kholil. 

Dalam pandangannya, tokoh karismatik asal Bangkalan itu bukan hanya ulama besar, tetapi pemantik lahirnya para pejuang kemerdekaan.

“Pesantren adalah basic benteng pertahanan perjuangan,” ujarnya, mengisyaratkan bahwa pesantren telah lebih dulu menjaga negeri ini sebelum republik berdiri.

Sejarah panjang mencatat bagaimana pesantren menjadi pusat perlawanan rakyat.

Dari situlah tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim lahir, membentuk karakter ulama yang kelak menjadi garda depan perjuangan bangsa.

Bagi Dhafir, jejak sejarah itu menjadi bukti bahwa pesantren memiliki DNA perjuangan yang tak terbantahkan.

Di ruangan itu, banyak hadirin mengangguk setuju. Di antara mereka tampak Wakil Bupati Bondowoso Lora As’ad Yahya Syafi’i dan Ketua PCNU KH Abdul Qodir Syam.

Kehadiran para tokoh itu seolah menegaskan kuatnya ikatan antara tradisi pesantren, nilai kebangsaan, dan politik kebudayaan yang tumbuh subur di Bondowoso.

Dalam penjelasannya, Dhafir menguraikan keunikan lain dari penganugerahan tahun ini: tiga generasi keluarga besar NU kakek, ayah, dan anak masing-masing menyandang gelar pahlawan nasional.

Fenomena itu, kata Dhafir, hampir tidak ditemukan di negara lain.

Ia kemudian menyinggung sosok Marsinah, aktivis buruh perempuan yang menjadi simbol keberanian rakyat kecil melawan ketidakadilan.

Di mata Dhafir, perjuangan Marsinah bukan sekadar sejarah, melainkan pengingat bahwa suara rakyat kecil kerap menjadi bahan bakar perubahan besar.

Ketika menyebut nama Marsinah, wajah Dhafir sedikit menunduk. “Perjuangannya menggugah kesadaran kita semua,” tuturnya lirih.

Tragedi pembunuhan Marsinah, menurutnya, adalah luka sekaligus pelajaran yang harus terus diwariskan kepada generasi muda.

Di tengah penjelasannya, Dhafir mengajak kader PKB dan warga yang hadir untuk merenungkan kembali peran pesantren sebagai pembentuk karakter bangsa. Ia mengingatkan bahwa PKB lahir dari rahim NU, sehingga moral dan akhlak harus menjadi dasar gerakan politik.

“Ini bukan hanya kebanggaan, tetapi amanah,” katanya. “Kita punya tanggung jawab menjaga nilai perjuangan para ulama dan pejuang kemerdekaan.” Kalimat itu disambut gumaman setuju dari para hadirin.

Suasana hening sejenak ketika Dhafir kembali menegaskan bahwa dalam sejarah panjang Indonesia, tidak ada ulama yang menjadi antek penjajah.

Sebaliknya, ulama selalu menjadi pemimpin rakyat. Pernyataan itu menjadi penegasan bahwa perjuangan moral tidak pernah boleh berhenti.

Bagi Dhafir, seluruh perjalanan sejarah itu bukan cerita masa lalu, melainkan kompas moral bagi masa kini.

“Kita menikmati buah perjuangan mereka. Maka kita wajib mengisi kemerdekaan ini dengan menjaga nilai perjuangan itu,” ujarnya lagi.

Di akhir acara, beberapa peserta terlihat mendekat untuk bersalaman. Dhafir tetap berdiri meski tampak kelelahan. Ia mengatakan kehadiran masyarakat Bondowoso selalu memberinya energi baru.

“Mohon doa,” katanya sambil tersenyum, “agar kami terus diberi kekuatan untuk bekerja bagi masyarakat dan menjaga amanah para ulama dan pejuang bangsa.”

Di aula itu, nama pesantren kembali hadir bukan dalam bentuk bangunan, tetapi dalam nilai-nilai yang hidup dalam setiap ucapan, setiap doa, dan setiap tekad untuk menjaga Indonesia tetap berdiri tegak.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow